
Oleh: Rahma Fadhila
Kemampuan public speaking kini menjadi kacamata seseorang untuk tampil percaya diri dan menunjukkan potensi dirinya. Public speaking umumnya didefinisikan sebagai proses atau seni menyampaikan komunikasi lisan secara efektif di depan para audiens dan mempengaruhi audiens tersebut.
Pada hari Jumat, tanggal 27 November 2020, CICIL bersama Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (HMBSI) IKIP PGRI Pontianak berkolaborasi dalam mengadakan Kelas CICIL. Kelas yang bertajuk “Kembangkan Potensi Diri & Tingkatkan Percaya Diri Melalui Public Speaking” ini diisi oleh Training & Development Specialist dan Area Manager Cicil.co.id, Ibda Fikrina Abda.
Ibda membuka kelas dengan membagikan pertanyaan untuk dijawab para peserta. Dalam jawaban dari pertanyaan tersebut, banyak ditemukan permasalahan dari pengalaman peserta ketika mereka melakukan kegiatan public speaking. Grogi, malu, hingga berbagai ketakutan menjadi kekhawatiran yang paling sering dirasakan peserta.
“Apa yang teman-teman alami juga dialami oleh public speaker pada umumnya. Bahkan berdasarkan survei Chapman University di tahun 2016 kepada 3000 orang di Amerika Serikat, 25,9% lebih takut untuk public speaking daripada kematian,” urai Ibda dalam penyampaian materinya.
Public speaking menjadi penting karena dapat meningkatkan kompetensi diri, kesuksesan dalam karir, hingga dapat meningkatkan softskill seseorang. Bagi Ibda, kompetensi diri dapat diraih dengan public speaking karena kemampuan tersebut menambah value seseorang di hadapan orang lain. Tak hanya itu, baginya public speaking juga menjadi salah satu bentuk dari empat aspek kemampuan berkarir. Di antaranya yaitu creative thinking, communication, collaboration, dan critical thinking, di mana public speaking termasuk ke dalam kategori kemampuan communication.
Untuk tampil dengan baik dan penuh percaya diri dalam berbicara di muka umum, terdapat tiga aspek utama yang perlu diperhatikan. Di antaranya subject mastery, sequencing, dan showmanship.
Subject mastery sendiri berkaitan erat dengan penguasaan materi yang akan disampaikan ketika kita menjadi public speaker. Untuk dapat menguasai materi, perlu diketahui kesalahan apa saja yang umumnya dialami public speaker. Kesalahan pertama adalah memulai dengan konvensional, seperti salam biasa yang terlalu umum karena hal tersebut terlalu monoton. Untuk itu pembuka dapat diganti dengan studi kasus atau quote yang menarik perhatian audiens. Setelah audiens lebih antusias, baru dilanjutkan dengan salam dan perkenalan diri.
Kesalahan berikutnya adalah isi yang tidak jelas, nada suara yang monoton, bahasa tubuh yang pasif, mimik datar, hingga pemaparan atau presentasi yang tidak disertai ilustrasi. Public speaker tentu perlu menguasai materi dan mengemasnya dengan ilustrasi, agar apa yang disampaikan jadi lebih menarik dan dapat diterima audiens. Selain itu, bahasa tubuh, nada suara, dan mimik wajah juga perlu diperhatikan agar audiens lebih bersemangat dengan pembawaan public speaker yang ekspresif.
Mengenali audiens juga menjadi bagian dari subject mastery. Dengan mengenali audiens, public speaker akan lebih memahami penguasaan materi dengan baik serta dapat menyikapi audiens dengan “elegan” bila ia hendak dijatuhkan. Audiens sendiri dibagi menjadi beberapa tipe, ada the sheep si pendengar yang aktif, hot shot si pembelajar yang antusias dengan materi yang dibawakan public speaker, clown yang gemar bertanya di luar materi namun menghibur, ada pula sniper yang bertanya dengan pertanyaan yang cukup “menjatuhkan”, Mr./Mrs cool si pendengar yang pasif, hingga black cloud yang membawa suasana negatif.
Setelah mengetahui kesalahan yang pada umumnya terjadi pada public speaker dan mengenali audiens, tentu hal utama yang perlu dikuasai adalah materi yang hendak dibawakan. Kunci utama dari penguasaan materi adalah latihan sesering mungkin. Latihan ini dapat dilakukan saat beraktivitas, di depan cermin, bersama teman, maupun di kamar mandi sekalipun.
Ketika hendak tampil, permasalahan terbesar yang muncul adalah rasa takut. “Seprofesional apapun seorang pembicara, pasti masih merasa ketakutan ketika tampil. Tetapi, pembicara profesional adalah mereka yang mampu mengendalikan rasa takutnya, sehingga tidak terlihat di depan audiens,” tutur Ibda.
Dalam mengendalikan rasa takut, terdapat rumus 5P. Pertama, penyesuaian diri, hal ini dapat dilakukan dengan datang lebih awal untuk mengetahui situasi dan kondisi tempat kita akan tampil sebagai pembicara. Kalau udah mengetahui situasi, kita akan lebih mudah menyesuaikan diri dan tampil lebih percaya diri. Kedua, pemanasan, hal ini dapat dilakukan dengan menyapa audiens sebelum tampil, latihan kembali, hingga berkoordinasi dengan panitia pelaksana. Ketiga, perubahan bahasa tubuh, setelah mengenali kondisi, audiens, hingga acara maka pembicara perlu mengetahui bahasa tubuh yang tepat untuk ditampilkan ketika di hadapan audiens.
Keempat, pernapasan perut, langkah ini akan membuat pembicara lebih rileks saat menyampaikan materi. Napas ketika tampil juga akan lebih leluasa sehingga pembicara akan lebih tenang di hadapan audiens. Terakhir, penjangkaran, langkah ini lebih personal, di mana pembicara perlu melakukan sesuatu yang membuatnya lebih nyaman dan lebih rileks sebelum tampil. Misalnya menggunakan parfum favorit, mendengar lagu, mencari tempat yang lebih tenang, dan sebagainya.
Setelah subject mastery, terdapat sequencing. Sequencing merupakan ilmu untuk menyusun sebuah penampilan atau presentasi dengan baik dan menarik. Ibda memberikan resep mudah untuk mengingat tahap sequencing ini dengan kalimat “Ibu Budi Cantik”. “Ibu” digambarkan sebagai introduction dengan komposisi 10%, namun merupakan tahap paling krusial yang menentukan apakah audiens akan tertarik menyimak atau memilih “sibuk sendiri” tanpa menyimak. Pada tahap ini, public speaker memerlukan pembuka, topik, dan outline yang apik.
Terdapat 4 kategori pembuka yang menarik. Pertama, visual impact, pembicara dapat menayangkan gambar, foto, hingga video yang menarik dan menggugah audiens. Kemudian yang kedua adalah audience participant, di sini pembicara mengajak audiens untuk ikut terlibat dalam presentasi. Bisa dengan salam, menanyakan kabar, hingga bermain sebuah game. Dalam pembuka ini, pembicara harus bisa mendapatkan feedback dari audiens.
Ketiga, story dan kutipan tokoh, pembuka yang diawali dengan story dan kutipan tokoh umumnya dapat menggugah audiens. Story yang umumnya disajikan bisa berupa personal story, historical story, hingga perumpamaan. Untuk kutipan tokoh sendiri umumnya menggunakan tokoh terkenal yang berhubungan dengan topik.
Nah, kemudian yang terakhir adalah 4 Statement yang dibedakan menjadi dua, yakni positif-positif-positif-negatif dan negatif-negatif-negatif-positif. Pada kategori ini, pembicara dapat melontarkan pernyataan-pernyataan positif atau negatif terlebih dahulu yang berkaitan dengan topik yang ia bawakan. Setelahnya, pembicara memberikan perbandingan dengan sisi sebaliknya dari pernyataan yang telah ia lontarkan sebelumnya.
Tahap sequencing selanjutnya adalah “Budi”, yaitu body atau isi dengan komposisi 80% yang perlu dimaksimalkan selama presentasi. Pada tahap ini pembicara perlu melontarkan poin utama, poin tambahan, hingga ilustrasi berdasarkan materi yang ia sampaikan. Poin dan ilustrasi pada materi dapat disusun berdasarkan data hingga contoh atau cerita.
Tahap terakhir sequencing adalah “Cantik”, yaitu conclusion atau penutup dengan komposisi 10%, namun sama krusialnya dengan pembuka. Pada tahap ini, pembicara perlu memberikan kesan kepada audiens. Pembicara dapat mengulas materi yang telah ia bawakan dan memberikan closing statement yang menggugah sehingga materi melekat pada audiens.
Setelah fokus pada desain suatu penampilan atau sequencing, tahap terakhir adalah showmanship. Showmanship sendiri berkaitan dengan bahasa tubuh pembicara. Bahasa tubuh menjadi hal terpenting karena penilaian public speaking bukan tentang benar dan salah, namun elegan atau tidaknya pembicara di hadapan audiens.
Komponen bahasa tubuh dalam public speaking yang perlu diperhatikan adalah tatapan mata kepada audiens, gerakan tangan, tumpuan kaki, suara, hingga posisi pembicara. Gerakan bahasa tubuh dan cara seseorang berbicara dalam public speaking bergantung dengan siapa audiens kita. “Bila berbicara dengan rekan sejawat, saya memposisikan diri saya juga. Begitu halnya ketika dulu saya mengajar anak-anak SD (Sekolah Dasar). Saya mengajak mereka untuk lebih semangat sesuai dengan kondisi saat itu. Misalnya mengucapkan ‘Selamat pagi!’ dan bila belum semangat diulangi kembali hingga mereka lebih bersemangat,” papar Ibda ketika menceritakan pengalamannya mengajar dalam program Indonesia Mengajar.
Di akhir sesi, Ibda membagikan tips dan trik hal-hal yang harus dihindari saat menjadi public speaker. Pertama, hindari mencoba hal baru terutama penambahan materi di luar rencana karena dapat mengganggu konsentrasi ketika tampil sebagai seorang pembicara. Kedua, hindari killer words berupa kata pengulangan atau jeda seperti ‘nah’ atau ‘eh’ serta kata-kata yang mengkerdilkan diri sendiri seperti ‘kalau tidak salah’, ‘maaf’, dan sebagainya.
Bagi Ibda, kunci utama yang dapat membiasakan seseorang menjadi public speaker yang baik adalah jam terbang dan berani untuk mencoba. Ia menceritakan pengalaman temannya yang sebelumnya tidak begitu baik public speaking-nya, namun kini telah menjadi pemateri di berbagai kesempatan.
“Teman saya saat itu memilih untuk mencoba menjadi MC meskipun kami tahu kemampuannya tidak begitu baik. Saat itu memang banyak hal yang perlu ia perbaiki. Tapi dengan sikap giatnya untuk mencoba, akhirnya sekarang kemampuan public speaking-nya jauh lebih baik dibanding sebelumnya,” cerita Ibda.
Tidak ada komentar saat ini.